Momok Bernama Harry Potter?
Category Article : Hot Issues»Light
print Perspektif - Januari 2008
Karya sastra kerap dipakai sebagai alat untuk mere?eksikan kehidupan sosial masyarakat. Dalam novel Harry Potter (HP) karya J.K. Rowling, hal itu tergambar dengan jelas.
PERTENTANGAN KELAS
“Harry Potter bercerita soal kelas sosial dan perebutan kekuasaan,” kata Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, dosen pada Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Menurut kandidat doktor dalam bidang sastra itu, J.K. Rowling berhasil meramu pertentangan kelas menjadi sebuah bacaan yang memikat dan memanjakan imajinasi anak-anak.
Deskripsi stratifikasi sosial ini, menurut Indah, tidak saja dijumpai pada sifat baik yang selalu ditempelkan pada kelas menengah/bawah, tetapi juga pada deskripsi fisik. Wajah Malfoy yang dingin dan pucat karena jarang berkeringat dan terkena sinar matahari sungguh berbeda dengan keluarga Weasley, orangtua Ron, yang kulitnya berbintik-bintik dan berambut merah akibat sering tersengat matahari. Kesimpulan Indah, Rowling sedang menawarkan kepada pembaca novelnya untuk bersama-sama memerangi dominasi kelas atas. “Rowling menempatkan diri sebagai anggota kelas menengah/bawah. Dia juga menempatkan pembaca pada posisi yang sama, lalu mengajak ´memerangi´ dominasi kelas atas dan mewujudkan a classless society,” bilang Indah.
“Bagi saya karya ini sangat memanjakan imajinasi anak untuk memasuki sebuah dunia alternatif. Mereka diajak untuk keluar dari berbagai keterbatasannya sebagai manusia, yaitu keterbatasan ruang, tempat, dan waktu. Anak-anak diajak melihat dunia dengan cara lain,” tutur Yapi. Hingga buku keenam, garis besar cerita HP masih dilandasi oleh sisi buruk pengkotak-kotakan dalam masyarakat. Pertama kali ditampakkan di sekolah Hogwarts saat murid baru diharuskan mengenakan topi seleksi untuk menentukan di asrama manakah mereka tinggal. Penentuan asrama ini pun berdasarkan sifat dan keunggulan mereka. Gryffindor tempat para pahlawan yang berhati berani, jujur, dan ulet. Hufflepuff tempat tinggal orang yang adil, sabar, dan loyal. Penghuni Ravenclaw adalah orang-orang yang cerdas dan mau belajar. Sedangkan asrama Slytherin dikhususkan bagi mereka yang licik dan rela menggunakan segala cara untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Draco Malfoy yang selalu tampil klimis itu tinggal di Slytherin.
Asosiasi yang terbentuk atas sifat masing-masing penghuni asrama sangatlah jelas. PenghuniGryffindor terkesan terhormat sedangkan Slytherin terkorelasi negatif. Sejak awal memasuki sekolah Hogwarts, Harry tidak menyukai penghuni Slytherin. Demikian juga sebaliknya, murid-murid Slytherin selalu berseteru dengan Gryffindor karena merasa mendapat saingan tangguh.Di kalangan masyarakat penyihir sendiri ada sebutan-sebutan khusus di antara mereka. Pure-blood adalah keturunan penyihir murni. Half-blood merupakan keturunan campuran antara penyihir murni dan manusia biasa. Mudblood sebutan bagi manusia biasa yang mempunyai bakat sihir. Squib adalah keturunan penyihir yang tidak memiliki kemampuan sihir.
MENAWARKAN IDEOLOGI
Indah S.Pratidina pernah menulis skripsi tentang Analisis Wacana pada Sastra Anak: Ideologi J.K. Rowling dalam Dunia Sihir Harry Potter (2001). Pertentangan kelas menurut dia memang menjadi bumbu menarik atau bahkan menjadi isu utama bagi penulis-penulis fiksi dalam menyajikan karya fiksinya. Biasanya kisah fiksi menyajikan kaum menengah/bawah sebagai pahlawan yang meraih kemenangan, sementara kelas atas, para aristokrat adalah penjahat yang selalu sial.
Stratifikasi sosial ini sangat terasa dalam penggambaran Harry yang yatim-piatu, miskin, dan menitip hidup pada keluarga Dursley. Lawannya adalah Draco Malfoy dari keluarga terkenal dan kaya-raya, punya puri dan macam-macam materi lain. Harry dalam novel HP adalah representasi kelas bawah yang mesti berpeluh untuk tetap bertahan hidup, sementara Draco Malfoy adalah representasi kaum aristokrat yang punya banyak hak istimewa karena keturunan bangsawan dan kaya. Teman-teman Harry di Gryffindor setali tiga duit. Coba lihat Ron yang selalu mewarisi jubah, buku, dan tongkat abang-abangnya. Kontras sekali dengan Malfoy yang tinggal bilang ke babenya jika ingin berganti sapu terbang model terbaru.
DIJAWAB OLEH WAKTU
Bagi Prof.Dr. Bakdi Sumanto, secara kualitas novel HP tak jauh berbeda dengan novel-novel teenlit karya anak bangsa yang banyak digemari remaja seperti Dealova atau Me VS High Heels. Bedanya, kata Bakdi, HP didukung oleh sistem kapitalis yang luar biasa besar sehingga mampu merambah ke berbagai pelosok dunia. “Sistem kapitalis turut serta membesarkan HP. Kita di Indonesia tidak punya sistem itu. Sementara kalau karya kita mau masuk ke penerbit luar negeri harus melalui agen,” jelas Bakdi. Karya sastra adalah alat seniman untuk menstimulasi orang berpikir. Maka bagi Bakdi karya sastra tidak untuk dikotak-kotakkan. “Setiap karya ada kelebihan dan kekurangannya, tetapi itu tetap sebagai hasil olahan kehidupan manusia,” ujar guru besar Fakultas Sastra UGM itu.
Apakah HP dapat dikategorikan sebagai karya sastra bermutu (high literature)? Menurut Bakdi HP belum sampai ke sana. Sebagai karya komersial (commercial literature) HP memang tak terelakkan. “Waktu yang akan mengujinya. Apakah 10-20 tahun ke depan masyarakat masih suka membaca HP? Kalau masih berarti karya itu menjadi klasik dan termasuk dalam high literature,” jelas pengagum karya-karya Charles Dickens itu. Apa kriteria sebuah karya layak disebut karya sastra? “Setelah membacanya orang menjadi lebih baik. Tetapi kalau sebaliknya, membuat dia ingin membunuh, itu bukan karya sastra,” jelas Prof. Dr. Riris Kusumawati Toha Sarumpaet kepada Rumintar dari Bahana. Karya sastra bermutu menurut Riris dapat membawa pembacanya masuk ke dalam persoalan. Dengan masuk ke dalam persoalan seseorang jadi lebih matang, lebih dewasa dan lebih toleran.
Biasanya karya bermutu, kata Riris, lebih bertahan lama. Orang mau baca lagi. Makin dibaca makin ada yang baru yang bisa dipetik dari sana. Kita menjadi lebih suka pada karya tersebut. “Sehingga saya tidak berani mengatakan ini bermutu bagus dan yang lain tidak. Bermutu atau tidak, itu dirasakan. Itu sebabnya, yang bermutu harus dijawab oleh waktu,” ungkap Riris. Menurut Riris, jangan karena sebuah karya sedang begitu cantiknya, begitu digemari, langsung dinilai bermutu. Kemungkinan besar itu hanya sensasi.
JANGAN DIANGGAP MOMOK
Riris menganjurkan supaya HP dinikmati sebagai bacaan fiksi saja. HP jangan dianggap sebagai momok. Yapi Taum sepakat. Kalau ingin menanamkan budaya membaca bagi anak-anak, menurut dia, biarkan mereka meluangkan lebih banyak waktunya untuk merasakan kenikmatan dan keasyikan membaca. Bagi Yapi, HP adalah bacaan yang bermutu, juga bagi anak-anak kristiani. Memang, ketika pertama kali muncul dan membius pembaca seantero dunia. Gereja ikutan gusar karena dinilai tidak mendidik anak-anak. Sosok dan gaya sihir Harry Potter dinilai tidak sesuai dengan iman Kristen. “Tapi, apakah iman kita goyah hanya karena karya fiksi macam itu?” ujar Yapi. Bagi Yapi iman tidak sekadar percaya. Iman terkait dengan pengalaman akan Tuhan. Iman yang berakar pada pengalaman personal akan Tuhan tidak mudah digoyahkan oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai ancaman. (Alex Japalatu, Rum, dbs)
Source: BAHANA Magazine
http://www.bahana-magazine.com/?p=productsMore&iProduct=351&sName=Momok-Bernama-Harry-Potter-
Karya sastra kerap dipakai sebagai alat untuk mere?eksikan kehidupan sosial masyarakat. Dalam novel Harry Potter (HP) karya J.K. Rowling, hal itu tergambar dengan jelas.
PERTENTANGAN KELAS
“Harry Potter bercerita soal kelas sosial dan perebutan kekuasaan,” kata Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, dosen pada Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Menurut kandidat doktor dalam bidang sastra itu, J.K. Rowling berhasil meramu pertentangan kelas menjadi sebuah bacaan yang memikat dan memanjakan imajinasi anak-anak.
Deskripsi stratifikasi sosial ini, menurut Indah, tidak saja dijumpai pada sifat baik yang selalu ditempelkan pada kelas menengah/bawah, tetapi juga pada deskripsi fisik. Wajah Malfoy yang dingin dan pucat karena jarang berkeringat dan terkena sinar matahari sungguh berbeda dengan keluarga Weasley, orangtua Ron, yang kulitnya berbintik-bintik dan berambut merah akibat sering tersengat matahari. Kesimpulan Indah, Rowling sedang menawarkan kepada pembaca novelnya untuk bersama-sama memerangi dominasi kelas atas. “Rowling menempatkan diri sebagai anggota kelas menengah/bawah. Dia juga menempatkan pembaca pada posisi yang sama, lalu mengajak ´memerangi´ dominasi kelas atas dan mewujudkan a classless society,” bilang Indah.
“Bagi saya karya ini sangat memanjakan imajinasi anak untuk memasuki sebuah dunia alternatif. Mereka diajak untuk keluar dari berbagai keterbatasannya sebagai manusia, yaitu keterbatasan ruang, tempat, dan waktu. Anak-anak diajak melihat dunia dengan cara lain,” tutur Yapi. Hingga buku keenam, garis besar cerita HP masih dilandasi oleh sisi buruk pengkotak-kotakan dalam masyarakat. Pertama kali ditampakkan di sekolah Hogwarts saat murid baru diharuskan mengenakan topi seleksi untuk menentukan di asrama manakah mereka tinggal. Penentuan asrama ini pun berdasarkan sifat dan keunggulan mereka. Gryffindor tempat para pahlawan yang berhati berani, jujur, dan ulet. Hufflepuff tempat tinggal orang yang adil, sabar, dan loyal. Penghuni Ravenclaw adalah orang-orang yang cerdas dan mau belajar. Sedangkan asrama Slytherin dikhususkan bagi mereka yang licik dan rela menggunakan segala cara untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Draco Malfoy yang selalu tampil klimis itu tinggal di Slytherin.
Asosiasi yang terbentuk atas sifat masing-masing penghuni asrama sangatlah jelas. PenghuniGryffindor terkesan terhormat sedangkan Slytherin terkorelasi negatif. Sejak awal memasuki sekolah Hogwarts, Harry tidak menyukai penghuni Slytherin. Demikian juga sebaliknya, murid-murid Slytherin selalu berseteru dengan Gryffindor karena merasa mendapat saingan tangguh.Di kalangan masyarakat penyihir sendiri ada sebutan-sebutan khusus di antara mereka. Pure-blood adalah keturunan penyihir murni. Half-blood merupakan keturunan campuran antara penyihir murni dan manusia biasa. Mudblood sebutan bagi manusia biasa yang mempunyai bakat sihir. Squib adalah keturunan penyihir yang tidak memiliki kemampuan sihir.
MENAWARKAN IDEOLOGI
Indah S.Pratidina pernah menulis skripsi tentang Analisis Wacana pada Sastra Anak: Ideologi J.K. Rowling dalam Dunia Sihir Harry Potter (2001). Pertentangan kelas menurut dia memang menjadi bumbu menarik atau bahkan menjadi isu utama bagi penulis-penulis fiksi dalam menyajikan karya fiksinya. Biasanya kisah fiksi menyajikan kaum menengah/bawah sebagai pahlawan yang meraih kemenangan, sementara kelas atas, para aristokrat adalah penjahat yang selalu sial.
Stratifikasi sosial ini sangat terasa dalam penggambaran Harry yang yatim-piatu, miskin, dan menitip hidup pada keluarga Dursley. Lawannya adalah Draco Malfoy dari keluarga terkenal dan kaya-raya, punya puri dan macam-macam materi lain. Harry dalam novel HP adalah representasi kelas bawah yang mesti berpeluh untuk tetap bertahan hidup, sementara Draco Malfoy adalah representasi kaum aristokrat yang punya banyak hak istimewa karena keturunan bangsawan dan kaya. Teman-teman Harry di Gryffindor setali tiga duit. Coba lihat Ron yang selalu mewarisi jubah, buku, dan tongkat abang-abangnya. Kontras sekali dengan Malfoy yang tinggal bilang ke babenya jika ingin berganti sapu terbang model terbaru.
DIJAWAB OLEH WAKTU
Bagi Prof.Dr. Bakdi Sumanto, secara kualitas novel HP tak jauh berbeda dengan novel-novel teenlit karya anak bangsa yang banyak digemari remaja seperti Dealova atau Me VS High Heels. Bedanya, kata Bakdi, HP didukung oleh sistem kapitalis yang luar biasa besar sehingga mampu merambah ke berbagai pelosok dunia. “Sistem kapitalis turut serta membesarkan HP. Kita di Indonesia tidak punya sistem itu. Sementara kalau karya kita mau masuk ke penerbit luar negeri harus melalui agen,” jelas Bakdi. Karya sastra adalah alat seniman untuk menstimulasi orang berpikir. Maka bagi Bakdi karya sastra tidak untuk dikotak-kotakkan. “Setiap karya ada kelebihan dan kekurangannya, tetapi itu tetap sebagai hasil olahan kehidupan manusia,” ujar guru besar Fakultas Sastra UGM itu.
Apakah HP dapat dikategorikan sebagai karya sastra bermutu (high literature)? Menurut Bakdi HP belum sampai ke sana. Sebagai karya komersial (commercial literature) HP memang tak terelakkan. “Waktu yang akan mengujinya. Apakah 10-20 tahun ke depan masyarakat masih suka membaca HP? Kalau masih berarti karya itu menjadi klasik dan termasuk dalam high literature,” jelas pengagum karya-karya Charles Dickens itu. Apa kriteria sebuah karya layak disebut karya sastra? “Setelah membacanya orang menjadi lebih baik. Tetapi kalau sebaliknya, membuat dia ingin membunuh, itu bukan karya sastra,” jelas Prof. Dr. Riris Kusumawati Toha Sarumpaet kepada Rumintar dari Bahana. Karya sastra bermutu menurut Riris dapat membawa pembacanya masuk ke dalam persoalan. Dengan masuk ke dalam persoalan seseorang jadi lebih matang, lebih dewasa dan lebih toleran.
Biasanya karya bermutu, kata Riris, lebih bertahan lama. Orang mau baca lagi. Makin dibaca makin ada yang baru yang bisa dipetik dari sana. Kita menjadi lebih suka pada karya tersebut. “Sehingga saya tidak berani mengatakan ini bermutu bagus dan yang lain tidak. Bermutu atau tidak, itu dirasakan. Itu sebabnya, yang bermutu harus dijawab oleh waktu,” ungkap Riris. Menurut Riris, jangan karena sebuah karya sedang begitu cantiknya, begitu digemari, langsung dinilai bermutu. Kemungkinan besar itu hanya sensasi.
JANGAN DIANGGAP MOMOK
Riris menganjurkan supaya HP dinikmati sebagai bacaan fiksi saja. HP jangan dianggap sebagai momok. Yapi Taum sepakat. Kalau ingin menanamkan budaya membaca bagi anak-anak, menurut dia, biarkan mereka meluangkan lebih banyak waktunya untuk merasakan kenikmatan dan keasyikan membaca. Bagi Yapi, HP adalah bacaan yang bermutu, juga bagi anak-anak kristiani. Memang, ketika pertama kali muncul dan membius pembaca seantero dunia. Gereja ikutan gusar karena dinilai tidak mendidik anak-anak. Sosok dan gaya sihir Harry Potter dinilai tidak sesuai dengan iman Kristen. “Tapi, apakah iman kita goyah hanya karena karya fiksi macam itu?” ujar Yapi. Bagi Yapi iman tidak sekadar percaya. Iman terkait dengan pengalaman akan Tuhan. Iman yang berakar pada pengalaman personal akan Tuhan tidak mudah digoyahkan oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai ancaman. (Alex Japalatu, Rum, dbs)
Source: BAHANA Magazine
http://www.bahana-magazine.com/?p=productsMore&iProduct=351&sName=Momok-Bernama-Harry-Potter-